Jun 1, 2009

Gusti Mustafa : Perintis Penangkaran Tradisional Arwana

Perintis Penangkaran Tradisional Arwana
Oleh : C Wahyu Haryo PS

Ikan arwana merah (Scleropages formosus) semakin sulit dijumpai di habitat aslinya di Danau Sentarum, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Meski demikian, ratusan penangkar tradisional di Kecamatan Suhaid dan Semitau, Kapuas Hulu, sukses membudidayakannya.

Usaha penangkaran ikan purba yang dalam bahasa lokal disebut siluk itu juga mampu mengangkat kehidupan dan geliat perekonomian masyarakat di Kecamatan Suhaid dan Kecamatan Semitau.

Di antara para penangkar ikan secara tradisional yang sukses tersebut adalah Haji Gusti Mustafa (58). Dialah satu dari dua perintis penangkar arwana tradisional di Kapuas Hulu, selain almarhum Haji Bujang Siung. Lewat keberhasilannya menangkarkan siluk, Mustafa bisa mendirikan Yayasan Al-Mutakim pada tahun 2003. Yayasan itulah yang menyelenggarakan sekolah madrasah tsanawiyah (MTs) dan madrasah aliyah (MA) di Suhaid.

"Masyarakat di sini sangat membutuhkan pendidikan. Jumlah SMP dan SMA di Suhaid sangat terbatas sehingga saya bersama beberapa tokoh masyarakat, dibantu pemerintah daerah, berinisiatif mendirikan madrasah tsanawiyah dan aliyah," cerita Mustafa.

Meski pembangunan gedung sekolah dibantu oleh pemerintah kabupaten, operasional sekolah dan gaji guru kontrak dibiayai yayasan secara mandiri. Dananya berasal dari hasil penjualan arwana yang ditangkarkan Mustafa.

Sejak berdiri, dua jenjang sekolah itu telah meluluskan sekitar 60 siswa. Sekarang ini sebanyak 160 siswa belajar di sekolah tersebut. Saat ditemui di rumahnya, lelaki paruh baya itu tampil dengan baju koko biru muda, diserasikan dengan kopiah putih yang menutup rambutnya yang juga mulai memutih. Emblem bendera Merah Putih menempel di saku baju sebelah kirinya.

Pedagang keliling

Sukses Mustafa menangkarkan arwana diraih dengan perjalanan yang berliku. Awalnya, sekitar tahun 1975, Mustafa adalah penjaja barang kelontong yang berkeliling dari kampung ke kampung. Melihat potensi ikan di Danau Sentarum yang melimpah, Mustafa mulai beralih menjadi penjual ikan asin pada sekitar tahun 1977. Ikan awetan itu dibelinya dari nelayan setempat, lalu dia jual lagi ke Pontianak.

Pada saat bersamaan, dia juga mulai menjual ikan hias ulang uli (Botia macrancanthus). Kala itu, arwana merah hanya laku dijual sebagai ikan konsumsi. Saat sejumlah pedagang ikan hias membawa ikan arwana hidup ke Pontianak, barulah ikan itu laku terjual. Ini pun dengan harga sekitar Rp 500 per ekor.

Tahun bergulir, dan sejak tahun 1982 arwana merah mulai dikenal di luar negeri dan diminati orang. Harganya pun melonjak menjadi Rp 10.000 per ekor. Sejak itu pula arwana merah yang hanya ada di Danau Sentarum ditangkap secara besar-besaran. Permintaan tetap tinggi, sementara penangkapan berlebihan tanpa memerhatikan kaidah konservasi menggerus jumlah arwana di alam. Sampai akhirnya sejumlah orang mulai berpikir untuk menangkarkan arwana.

Menurut Mustafa, penangkaran arwana pertama kali justru dilakukan oleh pemain ikan hias di Pontianak meskipun pertumbuhan ikan di kota dataran rendah itu tak sebaik di wilayah aslinya. "Meski sama-sama arwana merah, tetapi warna merah ikan itu akan lebih bagus jika tumbuh di habitat aslinya, di sekitar Danau Sentarum dan hulu Sungai Kapuas. Bisa saja ikan ini dikembangkan di tempat lain dengan kadar keasaman yang mungkin dibuat menyerupai air Danau Sentarum, tetapi biasanya warna ikan itu menjadi sedikit memudar," tuturnya.

Saat itulah Mustafa berpikir, arwana merah bisa dibudidayakan di Suhaid dan Semitau karena ikan itu juga bisa berkembang di daerah lain. Pada tahun 1989 ia lalu membuat kolam dan mulai memelihara tujuh induk arwana merah. Modal awal yang mencapai puluhan juta rupiah dia peroleh dari kredit Bank Kalbar Cabang Semitau.

Sempat bangkrut

Pengetahuan Mustafa yang minim tentang perkembangbiakan ikan arwana membuat usaha penangkaran tak kunjung membuahkan hasil. Bahkan, tahun 1994 usahanya sempat bangkrut karena kehabisan modal, sementara belum satu anakan pun yang ditetaskan oleh tujuh induk arwana merahnya.

Ia lalu belajar dari penangkar di Pontianak yang berhasil. Setelah berguru, baru pada tahun 1997 Mustafa berani mengajukan kredit dan memulai lagi usaha penangkaran. Ia memperbaiki perlakuan terhadap kolam dan mulai bisa memijah anakan ikan yang biasanya dierami di dalam mulut induknya. Hasilnya, dari tujuh induk kini sudah berkembang menjadi sekitar 300 induk. Mustafa pun bisa menikmati keuntungan dari harga jual ikan arwana merah yang terus melambung tinggi.

Pada tahun 2003, saat ikan arwana merah sangat digandrungi, harga anakan sepanjang 10 sentimeter laku sekitar Rp 5 juta. Namun, pada tahun 2006 harga anakan dengan ukuran yang sama turun menjadi Rp 3 juta per ekor. Sementara harga indukan berkisar Rp 20 juta-Rp 25 juta per ekor. Sekali panen, keuntungan yang bisa diraup tidak kurang dari Rp 100 juta.

Taraf hidup Mustafa pun semakin meningkat sehingga dia dan istri bisa menunaikan ibadah haji. Bahkan, kedua orangtua, mertua, dan empat anaknya bisa ikut berhaji dari hasil penangkaran ikan arwana merah tersebut.

Perekonomian rakyat

Di luar apa yang telah diraih, Mustafa juga memiliki kebanggaan tersendiri karena peningkatan kesejahteraan yang berangkat dari budidaya ikan arwana merah juga dirasakan hampir merata oleh masyarakat Suhaid dan Semitau.

Ada sekitar 100 penangkar tradisional tumbuh subur di wilayah yang dijuluki Bumi Arwana ini. Selain itu, tak sedikit tetangganya yang membeli anakan ikan arwana merah untuk dipelihara di akuarium.

Setelah anakan itu berumur satu tahun, Mustafa bersedia membelinya kembali dengan harga tiga kali lipat. Kalau dihitung-hitung, keuntungan yang diperoleh dari membesarkan seekor arwana merah di akuarium mencapai sekitar Rp 500.000 per bulan.

"Arwana merah benar-benar membawa berkah yang tak terhingga bagi masyarakat Suhaid dan Semitau. Saat ini di Kalimantan Barat tidak ada ikan yang lebih mahal daripada ikan arwana merah," katanya sambil menunjukkan 12 kolam baru yang tengah dibangun untuk mengembangkan usaha penangkarannya.

Sumber : Kompas, 6 November 2007

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks